Narasi Kehidupan – Tanggal 6 Agustus 1945 menjadi titik balik yang mengubah kehidupan banyak orang selamanya. Salah satunya adalah Lee Jung-soon, gadis berusia delapan tahun asal Korea yang saat itu tinggal di Hiroshima. Pagi itu, ia sedang berjalan menuju sekolah ketika suara ledakan bom dahsyat memecah keheningan di kota Hiroshima. Langit seketika berubah menjadi cahaya menyilaukan, disusul gelombang panas yang membakar udara.
Ayahnya segera berlari membawa Lee dan saudara-saudaranya mencari perlindungan. Namun, di balik upaya penyelamatan itu, kota telah berubah menjadi lautan api dan puing. Ledakan bom atom yang dijuluki “Little Boy” meratakan hampir seluruh wilayah dalam radius dua kilometer, menewaskan puluhan ribu orang dalam hitungan detik. Bagi Lee, momen itu menjadi awal dari perjalanan hidup yang selalu dihantui kenangan mengerikan.
Delapan puluh tahun kemudian, Lee kini berusia 88 tahun. Meski tubuhnya terlihat sehat, luka yang ia bawa tidak sepenuhnya tampak oleh mata. Kenangan akan teriakan orang-orang yang mencari keluarga mereka, bau asap bercampur debu, dan pemandangan korban yang terbakar menjadi bayangan yang sulit dihapus.
Di Jepang, para penyintas bom atom dikenal sebagai hibakusha. Mereka bukan hanya menanggung luka fisik, tetapi juga trauma psikologis dan diskriminasi sosial. Banyak di antara mereka yang masih bergulat dengan penyakit akibat radiasi, sementara sebagian lainnya menanggung rasa kehilangan yang tak pernah tergantikan. Luka itu, bagi sebagian besar hibakusha, tak pernah benar-benar sembuh, meski waktu terus berjalan.
Baca Juga : Sujud Anak Durhaka: Kisah Malin Kundang Dumai Kini Dibebaskan Lewat Restorative Justice
Jumlah hibakusha terus berkurang seiring waktu. Namun, mereka yang masih hidup memilih untuk bersuara. Kisah-kisah mereka menjadi saksi sejarah sekaligus peringatan bagi generasi mendatang. Ada yang bercerita di sekolah-sekolah, ada yang menulis memoar, dan ada pula yang berdiri di forum internasional untuk menyerukan pelucutan senjata nuklir.
Pesan yang mereka bawa jelas: dunia tidak boleh mengulangi tragedi serupa. Di tengah ketegangan global dan ancaman perang modern, suara hibakusha menjadi pengingat bahwa senjata nuklir bukanlah simbol kekuatan, melainkan sumber kehancuran yang meninggalkan luka lintas generasi.
Seiring menipisnya jumlah penyintas, Jepang memperkenalkan program memory keepers atau penjaga memori. Mereka adalah para relawan yang secara sukarela mempelajari kisah para hibakusha untuk kemudian membagikannya kepada publik. Salah satunya, Keiko Aoki, rutin menceritakan pengalaman penyintas bernama Kajimoto, yang kehilangan hampir seluruh keluarganya dalam sekejap.
Program ini memastikan bahwa meskipun para saksi hidup tidak lagi bersama kita, kisah mereka tetap hidup. Setiap cerita menjadi bagian dari ingatan kolektif yang membentuk kesadaran global akan bahaya perang nuklir.
Simak Juga : Tragedi Mengejutkan Saudara Artis Lukman Sardi Meninggal!
Dari sekian banyak kisah penyintas, perjalanan hidup Koko Kondo menjadi salah satu yang paling menyentuh. Saat bom meledak, Kondo masih bayi. Ia tumbuh besar dengan menyaksikan penderitaan di sekitarnya, tetapi memilih jalur pengampunan. Pada tahun 1955, ia bertemu langsung dengan kopilot pesawat Enola Gay pesawat yang menjatuhkan bom di Hiroshima. Pertemuan ini menjadi simbol rekonsiliasi yang kuat, bahkan disebutkan oleh Presiden Barack Obama saat kunjungannya ke Hiroshima pada 2016.
Kondo menunjukkan bahwa meski luka sejarah begitu dalam, masih ada ruang bagi pengampunan dan upaya membangun masa depan yang lebih damai. Pesannya sederhana namun kuat: dendam tidak akan menghapus penderitaan, tetapi pengampunan dapat membuka jalan menuju pemulihan.
Kini, di tengah dunia yang semakin terhubung namun rawan konflik, pesan para penyintas Hiroshima memiliki relevansi yang semakin besar. Bukan hanya untuk mencegah perang nuklir, tetapi juga untuk mengingatkan bahwa kekerasan dalam bentuk apa pun meninggalkan luka yang sulit dihapus.
Generasi muda yang mungkin hanya mengenal bom Hiroshima dari buku sejarah atau film, perlu menyadari bahwa tragedi itu nyata dan dampaknya masih terasa hingga hari ini. Melalui kesaksian hibakusha, kita diajak untuk memahami harga dari perdamaian dan tanggung jawab bersama untuk menjaganya.