Narasi Kehidupan – Sebuah kisah memilukan sekaligus menggugah rasa kemanusiaan terjadi di Kota Dumai, Riau. Seorang anak laki-laki yang memukul ibunya di bagian ulu hati akhirnya terhindar dari jerat hukum setelah ibunya memberikan maaf dengan tulus. Peristiwa ini menyeruak ke publik karena mengingatkan masyarakat pada legenda kisah Malin Kundang, namun dengan akhir yang berbeda. Bukan kutukan menjadi batu, melainkan pelukan dan air mata rekonsiliasi.
Kisah ini menyedot perhatian publik bukan hanya karena keterlibatan kekerasan dalam rumah tangga, namun juga karena penyelesaiannya yang menempuh jalur restorative justice, mengedepankan penyembuhan hubungan sosial dibandingkan hukuman pidana semata.
Peristiwa terjadi pada 23 Mei 2025 lalu. Pelaku berinisial R (24 tahun) datang ke rumah ibunya dalam kondisi emosional dan sempat bersitegang. Ketika sang ibu mencoba menenangkannya dengan menepuk kepala, R justru membalas dengan pukulan keras ke ulu hati yang membuat ibunya terhuyung dan kesakitan.
Keributan tak berhenti di situ. Kakak kandung pelaku yang menyaksikan kejadian langsung memukul R sebagai bentuk pembelaan. Merasa tidak terima, R lantas mengejar sang kakak dengan parang. Warga sekitar yang mendengar kegaduhan langsung melerai dan mengamankan situasi. Ibu pelaku sempat dilarikan ke rumah sakit dan dinyatakan mengalami luka memar berdasarkan hasil visum.
Kasus ini kemudian dilaporkan ke kepolisian dan pelaku sempat ditahan. Awalnya, R dijerat dengan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dengan ancaman hukuman pidana. Namun arah perkara berubah ketika ibu pelaku menyatakan keinginannya untuk berdamai.
Baca Juga : Cerita Misteri Telaga Rambut Monte: Keindahan Alam dan Jejak Legenda Leluhur di Blitar
Kejaksaan Negeri Dumai mengambil langkah berbeda dalam penyelesaian kasus ini. Melalui pendekatan restorative justice yang diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020, proses hukum tidak dilanjutkan ke meja hijau. Syarat utamanya terpenuhi: korban dan pelaku saling memaafkan, dan peristiwa tersebut terjadi dalam lingkup keluarga.
Proses damai digelar di Kantor Restorative Justice Kejari Dumai. Dalam momen emosional tersebut, pelaku R menyampaikan permintaan maaf secara langsung kepada ibunya. Ia mencium tangan, memeluk erat, dan akhirnya bersujud di kaki sang ibu sambil menangis adegan yang kemudian viral dan disebut banyak orang sebagai akhir kisah Malin Kundang versi modern.
Pihak kejaksaan menyatakan bahwa langkah ini diambil bukan untuk melemahkan hukum, melainkan sebagai bentuk penguatan relasi sosial dan kemanusiaan. Kepala Kejari Dumai, Pri Wijeksono, menyebut bahwa pendekatan seperti ini menjadi solusi atas permasalahan keluarga yang tak selalu layak dibawa ke ranah pengadilan.
Apa yang terjadi di Dumai bukan hanya soal kekerasan dan hukum. Ini tentang luka keluarga, rasa penyesalan, dan kekuatan memaafkan. Ketika seorang ibu yang telah dilukai secara fisik dan emosional masih sanggup memberikan maaf, maka sejatinya ia telah menunjukkan wujud kasih sayang paling murni.
Pelaku pun mengakui bahwa tindakannya muncul dari tekanan emosi yang tidak terkendali. Ia menyebut kejadian itu sebagai titik balik dalam hidupnya dan bersumpah untuk memperbaiki hubungan dengan ibunya.
Kisah ini mengundang refleksi bagi masyarakat luas. Kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi juga luka yang bisa sembuh lewat kesadaran, pengakuan salah, dan kesempatan kedua. Namun demikian, pengampunan dari korban bukan berarti pembenaran atas tindakan kekerasan. Sebaliknya, ia menjadi pengingat bahwa setiap orang punya peluang untuk berubah.
Simak Juga : Memberi Ruang pada Anak Kunci Kemandirian dan Perkembangan
Kasus di Dumai memberi gambaran nyata bahwa hukum bisa berjalan seiring dengan nilai-nilai kemanusiaan. Restorative justice membuka pintu bagi penyelesaian yang tidak sekadar menghukum, tetapi memulihkan. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan, pendekatan ini memberi makna baru bagi kata “keadilan”.
Sama seperti sang ibu yang membuka hati untuk memaafkan anaknya, kita pun diajak untuk melihat bahwa dalam setiap luka, ada kemungkinan untuk sembuh selama ada niat baik dan ketulusan untuk memperbaiki.