
Narasi Kehidupan – Arsitektur tumpang sari pada masjid-masjid di Jawa merupakan hasil perpaduan indah antara nilai-nilai Islam dan kearifan lokal budaya Jawa. Bentuk atap bertingkat atau tajug yang ditopang oleh struktur kayu bertingkat disebut tumpangsari, menjadi ciri khas arsitektur tradisional ini. Tidak hanya sebagai elemen penopang bangunan, tumpangsari juga menyimpan makna simbolis yang mendalam tentang spiritualitas, keseimbangan, dan keharmonisan antara manusia, alam, serta Tuhan. Melalui struktur yang kokoh dan filosofis, arsitektur ini telah menjadi warisan budaya yang merepresentasikan karakter masyarakat Jawa yang religius sekaligus mencintai keindahan.
Arsitektur tumpang sari adalah susunan balok kayu yang disusun bertingkat di atas empat tiang utama yang disebut saka guru. Struktur ini digunakan untuk menopang atap bertingkat dan langit-langit ruang utama, serta memperkuat kestabilan bangunan tanpa bantuan paku. Teknik sambungan kayu tradisional memungkinkan struktur ini lentur terhadap guncangan, sehingga sangat sesuai dengan kondisi geografis Indonesia yang rawan gempa.
Tumpangsari tidak hanya berfungsi sebagai struktur fisik, tetapi juga memiliki nilai simbolik yang kuat. Pada masa lalu, jumlah tingkatan tumpangsari menandakan status sosial pemilik bangunan. Bangunan bangsawan atau keraton biasanya memiliki tujuh tingkat, sementara rumah rakyat biasa hanya empat. Pada masjid, struktur ini menggambarkan perjalanan spiritual manusia, dari kehidupan duniawi menuju hubungan dengan Tuhan. Atap bertingkat menjadi simbol lapisan spiritual yang membawa manusia semakin dekat dengan Sang Pencipta.
Baca Juga : Kisah Sukses Kopi Toejoean: Hobi Jadi Bisnis yang Menginspirasi
Dalam konteks arsitektur tradisional Jawa, tumpangsari memiliki berbagai fungsi penting yang mencakup aspek struktural, estetika, dan filosofis. Sebagai penopang utama, balok-balok kayu bertingkat memperkuat tiang saka guru agar bangunan tetap stabil. Keindahan bentuknya memberikan nilai estetika tersendiri, sementara filosofi yang terkandung di dalamnya menggambarkan perjalanan spiritual manusia.
Makna filosofis tumpangsari berakar pada kosmologi Jawa yang melihat kehidupan sebagai keseimbangan antara dunia fisik dan spiritual. Empat tiang saka guru melambangkan empat penjuru mata angin yang mengelilingi pusat kehidupan atau pancer. Struktur ini dianggap sebagai simbol keseimbangan dan perlindungan dari Tuhan. Tumpangsari juga menggambarkan filosofi Hamemayu Hayuning Bawana gagasan bahwa manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga keharmonisan alam semesta.
Struktur tumpangsari terbentuk dari beberapa elemen utama seperti molo (balok puncak), ander (balok penopang), pengeret (balok pengikat), dan sunduk (penahan goncangan). Keseluruhan struktur ini disusun dengan sistem sambungan kayu tradisional tanpa paku, menggunakan teknik pasak yang kokoh dan fleksibel. Sistem ini menjadikan bangunan tahan terhadap tekanan dan perubahan lingkungan.
Material yang digunakan umumnya berasal dari bahan lokal seperti kayu jati dan batu kali. Pada masjid-masjid besar seperti Masjid Gedhe Keraton Yogyakarta, digunakan batu marmer untuk pondasi dan kayu keras untuk struktur atap. Pemilihan material alami mencerminkan prinsip keseimbangan dengan lingkungan serta menciptakan suasana alami yang sejuk di dalam ruang ibadah.
Selain memiliki kekuatan struktur, tumpangsari juga kaya dengan nilai estetika. Ragam hiasnya sering kali menampilkan motif flora, fauna, dan simbol alam semesta. Motif lung-lungan (tumbuhan menjalar), padma (bunga teratai), dan wajikan menjadi ornamen yang umum ditemukan pada balok tumpangsari. Setiap motif memiliki makna simbolik, seperti keberkahan, kesucian, dan perlindungan ilahi.
Pada masjid, ornamen biasanya dipadukan dengan kaligrafi Arab dan motif geometris yang melambangkan keesaan Tuhan. Kombinasi ini menunjukkan perpaduan harmonis antara nilai Islam dan tradisi lokal Jawa. Kaligrafi pada kolom dan balok juga menjadi elemen spiritual yang memperkuat makna religius bangunan, tanpa menghilangkan nuansa artistik khas budaya Jawa.
Atap tajug bertingkat tiga yang menjadi ciri khas masjid Jawa menggambarkan tingkatan spiritual manusia. Tingkat pertama melambangkan kehidupan duniawi, tingkat kedua menggambarkan tahap penyucian diri, dan tingkat tertinggi melambangkan kedekatan dengan Tuhan. Struktur ini menjadi representasi perjalanan spiritual yang harus ditempuh manusia untuk mencapai kesempurnaan batin.
Selain itu, bentuk denah persegi pada masjid melambangkan kesetaraan manusia di hadapan Tuhan. Semua manusia berdiri sejajar tanpa perbedaan status saat beribadah. Orientasi bangunan yang mengikuti sumbu utara-selatan mencerminkan keselarasan dengan alam dan arah kiblat yang menunjukkan hubungan langsung dengan Sang Pencipta.
Arsitektur tumpangsari memiliki pengaruh besar terhadap pembangunan masjid-masjid di Jawa. Beberapa masjid bersejarah seperti Masjid Agung Demak, Masjid Menara Kudus, Masjid Agung Cirebon, dan Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta mengadaptasi struktur ini sebagai elemen utama. Setiap masjid memiliki variasi desain yang menyesuaikan kondisi sosial dan geografis daerahnya, tetapi tetap mempertahankan makna filosofis dan struktur tradisionalnya.
Masjid Agung Demak, misalnya, menjadi contoh klasik yang menampilkan tumpangsari sebagai penopang atap bertingkat tiga. Sementara itu, Masjid Menara Kudus memadukan elemen tumpangsari dengan arsitektur bercorak Hindu-Buddha. Adapun Masjid Gedhe Kauman menonjolkan filosofi spiritual dan kesederhanaan Islam melalui kombinasi atap tajug dan tumpangsari kayu berornamen halus. Semua bangunan tersebut menjadi bukti bahwa arsitektur tumpangsari tidak hanya kuat secara fisik, tetapi juga kaya makna spiritual dan budaya, menjadi simbol harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.
Simak Juga : Pesona Malam Ragunan Zoo, Edukasi dan Hiburan Warga Jakarta