Narasi Kehidupan – Setiap datangnya Hari Raya Idul Fitri, masyarakat Aceh tidak hanya merayakan dengan berkumpul bersama keluarga, tetapi juga menjadikannya sebagai momen untuk mengenang orang-orang terkasih yang telah tiada. Salah satu lokasi yang paling ramai dikunjungi adalah Kuburan Massal Ulee Lheue di Banda Aceh. Tempat ini menyimpan kisah duka mendalam, karena menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi ribuan korban tsunami 2004.
Di lokasi tersebut, suasana Lebaran terasa berbeda. Di tengah kebahagiaan umat Muslim yang merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa, banyak keluarga justru datang dengan doa dan air mata. Mereka duduk di dekat pusara massal, melantunkan doa, membaca Al-Fatihah dan Yasin, serta mengenang para syuhada yang wafat dalam bencana terbesar sepanjang sejarah Indonesia modern itu.
Bagi sebagian warga, ziarah ke kuburan massal bukan sekadar tradisi tahunan, melainkan bentuk cinta yang tidak pernah padam. Salah satunya adalah Ibrul, seorang peziarah yang setiap Idul Fitri dan Idul Adha selalu datang ke tempat ini. Kedua orang tuanya menjadi korban tsunami ketika ia masih berusia 13 tahun. Kini, di usianya yang ke-34, kenangan pahit itu tetap melekat.
Menurut Ibrul, berdoa di kuburan massal membuatnya merasa lebih dekat dengan orang tuanya meski jasad mereka tidak diketahui secara pasti. Ia mengungkapkan kerinduan yang tak pernah hilang, terlebih karena ia adalah anak tunggal. Baginya, doa di tempat ini adalah cara terbaik untuk mengobati rasa rindu yang mendalam, meski tragedi itu sudah berlangsung 21 tahun silam.
Peziarah lain bernama Darma juga menyampaikan kisah serupa. Setiap Lebaran, ia selalu datang setelah melaksanakan salat Id. Di kuburan massal Ulee Lheue, ia mendoakan ibu, ayah, kakak, adik, dan beberapa saudara lainnya yang menjadi korban. Karena jasad keluarganya tidak ditemukan di lokasi bencana, ia meyakini bahwa mereka turut dimakamkan di sini bersama ribuan korban lainnya.
Baca Juga : Cerita Nadiem Makarim Soal Baca Buku dan Rindu Masakan Ibu
Kuburan massal ini bukan hanya sebidang tanah untuk pemakaman, tetapi juga menjadi simbol duka dan kenangan mendalam bagi masyarakat Aceh. Dengan lebih dari 14.264 korban yang dimakamkan tanpa nisan, tempat ini menjadi saksi bisu betapa dahsyatnya tsunami yang menghantam Aceh pada 26 Desember 2004.
Keberadaan kuburan massal ini juga menjadi pengingat bagi generasi muda tentang betapa besar kehilangan yang pernah dialami masyarakat Aceh. Setiap kali masyarakat berziarah, mereka tidak hanya mendoakan keluarga sendiri, tetapi juga seluruh korban yang gugur. Doa-doa yang dipanjatkan di tempat ini seolah menyatukan kesedihan bersama, menjadikan kuburan massal Ulee Lheue sebagai ruang kolektif untuk mengenang tragedi tersebut.
Bagi para peziarah, ziarah di momen Lebaran memiliki makna yang dalam. Selain sebagai bentuk bakti kepada orang tua dan keluarga yang sudah tiada, kegiatan ini juga menjadi pengingat bahwa kebahagiaan Idul Fitri tidak bisa dirasakan semua orang. Ada yang merayakan dengan penuh suka cita, tetapi ada pula yang merayakan dengan air mata karena kehilangan orang-orang tercinta.
Tradisi ziarah di Aceh memang sangat kental, terutama di hari-hari besar Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Kegiatan ini tidak hanya menunjukkan rasa cinta kepada mereka yang sudah meninggal, tetapi juga sebagai wujud doa agar para korban mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT. Ziarah di kuburan massal pun menjadi bukti bahwa ikatan keluarga dan rasa cinta tidak terputus meskipun jasad sudah terkubur dalam tanah.
Tsunami Aceh 2004 adalah salah satu bencana alam paling mematikan di dunia modern. Gempa berkekuatan 9,2 magnitudo yang mengguncang Samudra Hindia memicu gelombang tsunami raksasa yang meluluhlantakkan Banda Aceh dan sekitarnya. Lebih dari 250 ribu nyawa melayang dalam hitungan jam, dan ratusan ribu lainnya kehilangan rumah serta keluarga.
Di antara sekian banyak korban, sebagian besar tidak pernah ditemukan jasadnya. Hal inilah yang membuat kuburan massal seperti Ulee Lheue menjadi tempat penting. Meskipun tanpa nisan, keluarga tetap datang untuk berdoa dan meyakini bahwa doa mereka sampai kepada orang-orang terkasih yang telah mendahului. Dengan demikian, kuburan massal bukan hanya simbol kehilangan, tetapi juga simbol keteguhan hati masyarakat Aceh untuk terus mengingat sekaligus mendoakan para korban.
Kunjungan ke kuburan massal Ulee Lheue di momen Lebaran memperlihatkan ketabahan luar biasa masyarakat Aceh dalam menghadapi duka. Meski tragedi telah berlalu lebih dari dua dekade, luka itu tidak pernah benar-benar hilang. Namun, dengan berziarah, masyarakat belajar menerima kenyataan sambil tetap menjaga hubungan spiritual dengan mereka yang sudah tiada.
Tradisi ini menjadi salah satu bukti nyata bahwa masyarakat Aceh tidak melupakan sejarah kelamnya. Justru dengan doa yang terus mengalir, mereka memperlihatkan bahwa kehilangan tidak berarti memutuskan ikatan cinta dan kasih sayang. Di setiap doa yang terucap, tersimpan harapan agar para korban tsunami diberikan tempat terbaik di sisi Allah, dan agar keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan untuk melanjutkan kehidupan.
Simak Juga : Memahami Perilaku Anak: Jendela Menuju Dunia Emosi dan Kebutuhan