Narasi Kehidupan – Kisah hidup Li Chuangye, seorang pria asal Tiongkok tengah, menjadi inspirasi bagi banyak orang. Terlahir dengan kondisi cerebral palsy, Li membuktikan bahwa keterbatasan fisik tidak pernah bisa menghalangi seseorang untuk meraih mimpi. Dari seorang anak jalanan yang tak berdaya, ia kini menjadi seorang dokter yang melayani masyarakat di Provinsi Yunnan, Tiongkok barat daya.
Sejak kecil, Li Chuangye menghadapi kenyataan pahit. Ia didiagnosis mengidap cerebral palsy pada usia satu tahun dan tumbuh dengan kesulitan bergerak. Karena tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai, Li harus berjalan dengan posisi jongkok sepanjang hidupnya. Orang tuanya telah berusaha keras mencari pengobatan terbaik, menghabiskan seluruh tabungan keluarga demi kesembuhannya. Namun, operasi yang dijalani saat berusia sembilan tahun gagal total. Merasa tidak ingin terus menjadi beban bagi keluarga, Li memutuskan meninggalkan rumah dan mencoba bertahan hidup sendiri.
Baca Juga : Mitos Generasi Micin dan Fakta Ilmiah Tentang MSG yang Aman
Keputusan Li untuk mandiri justru membawanya ke tangan orang yang salah. Dalam ketidaktahuannya, ia ditipu oleh seorang pria yang mengeksploitasi anak-anak penyandang disabilitas untuk mengemis di jalanan. Selama tujuh tahun, dari usia sembilan hingga enam belas tahun, Li hidup berpindah-pindah, hanya memperoleh sekitar 100 yuan per bulan, setara dengan Rp200 ribu. Ketika dianggap “terlalu tua untuk menarik simpati,” ia dibuang begitu saja.
Kehidupan keras di jalanan justru menumbuhkan tekad baru dalam dirinya. Li sadar bahwa satu-satunya jalan untuk mengubah nasib adalah melalui pendidikan. Di usia enam belas tahun, ia kembali ke bangku sekolah dan mulai belajar dari kelas dua sekolah dasar. Meskipun perjalanannya penuh tantangan, semangatnya tidak pernah padam. Ia berjuang keras mengejar ketertinggalan, belajar siang dan malam untuk bisa menulis, membaca, dan memahami pelajaran dasar yang sempat terlewat selama bertahun-tahun.
Semangat pantang menyerah mengantarkan Li menapaki jalan yang lebih tinggi. Setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan dasar dan menengah, ia akhirnya diterima di fakultas kedokteran pada usia 25 tahun. Tiga tahun kemudian, ia berhasil masuk ke program klinis universitas. Selama masa kuliah, Li menjadikan dirinya sebagai objek pembelajaran bagi teman-teman sekelasnya untuk memahami kondisi cerebral palsy secara nyata.
Ia bahkan memiliki tekad mulia untuk mendonorkan tubuhnya kepada dunia medis setelah meninggal, sebagai bentuk kontribusi bagi ilmu pengetahuan. Lulus dari universitas pada tahun 2019 di usia 31 tahun, Li sempat bekerja sebagai editor di perusahaan medis yang berafiliasi dengan kampusnya. Namun, hatinya selalu tertambat pada dunia praktik dan pelayanan langsung kepada masyarakat. Ia kemudian magang di klinik komunitas di Provinsi Henan sambil mempersiapkan ujian lisensi medis. Kini, ia menjalankan sebuah klinik kecil di Yunnan, memberikan pelayanan kesehatan dengan penuh dedikasi.
Li tidak mengejar karier besar di rumah sakit ternama. Baginya, membantu warga sekitar dan menjadi dokter yang bermanfaat sudah cukup membahagiakan. Ia percaya bahwa kesuksesan sejati bukan terletak pada jabatan, melainkan pada seberapa besar pengaruh positif yang dapat diberikan kepada orang lain.
Selain dikenal sebagai dokter yang inspiratif, Li juga memiliki hobi yang tak kalah menakjubkan mendaki gunung. Walaupun tubuhnya hanya setinggi 80 cm dan harus berjalan dengan posisi jongkok, Li berhasil menaklukkan Lima Gunung Suci Tiongkok (Wuyue) serta Gunung Huang pada tahun 2016. Semua pendakian itu dilakukannya seorang diri selama 17 hari, menggunakan enam pasang sepatu, dua belas celana panjang, dan enam belas pasang sarung tangan.
Li mengatakan bahwa pendakian bukanlah upaya mencari ketenaran, melainkan cara untuk “melihat dunia dari sudut pandang yang lebih tinggi.” Ia kerap menyiarkan langsung perjalanannya di media sosial, berharap dapat memberi inspirasi kepada penyandang disabilitas lain agar berani bermimpi dan tidak menyerah pada keterbatasan. Dalam setiap langkahnya, ia menanamkan pesan bahwa kekuatan sejati datang dari dalam diri sendiri.
Kisah hidup Li tidak hanya diwarnai perjuangan dan kerja keras, tetapi juga kisah cinta yang mengharukan. Ia bertemu dengan Yu, seorang wanita yang mengenalnya melalui dunia maya. Yu terpesona oleh semangat hidup Li dan memutuskan untuk menjadi bagian dari perjuangannya. Hubungan keduanya tumbuh menjadi kisah cinta yang penuh ketulusan.
Pada Oktober tahun lalu, Yu menunjukkan cintanya dengan cara yang luar biasa ia mendaki Gunung Tai sambil menggendong Li di punggungnya. Momen tersebut menjadi simbol kasih yang melampaui batas fisik, menunjukkan bahwa cinta sejati tidak mengenal bentuk tubuh atau kondisi fisik, melainkan saling pengertian dan dukungan yang tulus.
Kata-kata Li yang terkenal di media sosial menjadi sumber motivasi bagi banyak orang: “Musuh terbesar seseorang adalah dirinya sendiri. Kegagalan dan kesulitan hanyalah anak tangga menuju impian.” Banyak warganet menuliskan pujian dan rasa haru atas keteguhan hatinya. Salah satu komentar bahkan menambahkan, “Musuh terbesar seseorang adalah dirinya sendiri, tetapi sahabat terbaiknya juga dirinya sendiri.”
Kisah Li Chuangye menjadi bukti nyata bahwa keteguhan hati mampu menembus batas tubuh. Ia bukan hanya dokter, tetapi simbol perjuangan dan harapan bagi siapa pun yang berani bermimpi, sekalipun dunia tampak tidak berpihak.