Narasi Kehidupan – Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap menemukan orang yang berbicara banyak, bersikap menonjol, bahkan gemar memamerkan keahlian atau pencapaiannya. Namun, tidak jarang pula kita menyadari bahwa apa yang mereka tampilkan tidak selalu sebanding dengan isi atau kualitas sebenarnya. Fenomena ini secara tepat disarikan dalam peribahasa lama yang berbunyi: “Air beriak tanda tak dalam.”
Meski sederhana, peribahasa ini mengandung filosofi hidup yang dalam dan relevan hingga kini. Ia bukan hanya menggambarkan kondisi alam, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial dalam masyarakat yang semakin kompleks.
Secara harfiah, ‘Air Beriak Tanda Tak Dalam’ biasanya menandakan bahwa air tersebut tidak terlalu dalam. Sebaliknya, air yang tenang cenderung menandakan kedalaman yang lebih besar. Dari sinilah muncul kiasan bahwa seseorang yang terlalu banyak bicara atau terlalu mencolok justru sering kali kurang berisi dalam hal ilmu, pengalaman, atau kebijaksanaan.
Dengan kata lain, semakin dangkal pemikiran atau pemahaman seseorang, semakin keras ia ingin terlihat oleh orang lain. Sebaliknya, orang yang benar-benar bijaksana justru cenderung tenang, tidak banyak berkata-kata, namun tajam dalam tindakan dan pemikiran.
Baca Juga : Manajemen Stres Kunci Keseimbangan Hidup di Tengah Tekanan
Di zaman serba digital seperti sekarang, peribahasa ini menemukan relevansinya yang baru. Media sosial menjadi tempat banyak orang menunjukkan pencapaian, gaya hidup, hingga pendapat mereka tentang berbagai hal. Sayangnya, tidak semua yang terlihat mencerminkan kedalaman makna atau keaslian. Banyak di antaranya hanyalah “riak permukaan” konten viral, komentar kosong, atau sekadar eksistensi demi perhatian.
Fenomena ini sejalan dengan makna peribahasa, di mana mereka yang terlalu sering tampil dan berbicara belum tentu memiliki kedalaman pemahaman atau substansi nyata. Maka, bijak dalam bersuara dan selektif dalam menampilkan diri menjadi salah satu bentuk kedewasaan digital.
Peribahasa Air Beriak Tanda Tak Dalam bukanlah alat untuk menghakimi, tetapi menjadi cermin untuk kita melakukan introspeksi. Apakah kita termasuk orang yang terlalu sering berbicara tanpa substansi? Atau sebaliknya, apakah kita mampu menjadi pribadi yang tenang, mendalam, dan tidak mudah terprovokasi oleh riak-riak kosong?
Kita juga diajak untuk lebih menghargai orang-orang yang diam namun bekerja dalam sunyi, yang tidak banyak berkata-kata namun kaya akan tindakan bermakna. Mereka inilah yang sesungguhnya membawa perubahan nyata di lingkungan sekitar.
Namun, penting pula untuk menyeimbangkan pemaknaan. Tidak semua orang yang berbicara banyak berarti tidak berbobot. Ada kalanya komunikasi diperlukan untuk menyampaikan ide, memperjuangkan hak, atau menginspirasi orang lain. Maka, yang perlu ditekankan bukan seberapa banyak kita bicara, tetapi seberapa bernilai isi dari apa yang kita sampaikan.
Begitu pula orang yang tenang belum tentu benar-benar dalam jika tidak diiringi dengan tindakan nyata. Peribahasa ini sebaiknya tidak digunakan untuk menghakimi, melainkan sebagai pengingat agar kita menjaga kualitas dalam perkataan dan perbuatan.
Simak Juga : 12 Filosofi Hidup yang Mengajarkan Ketenangan Batin
Bagi generasi muda yang tumbuh di era serba cepat dan kompetitif, peribahasa ini bisa menjadi penyeimbang. Dunia boleh ramai dan penuh sorotan, namun kedalaman karakter tetaplah hal yang tak ternilai. Dalam dunia kerja, pendidikan, hingga relasi sosial, mereka yang benar-benar berisi akan terlihat melalui ketenangan, kesabaran, dan integritas.
Tenang bukan berarti pasif. Diam bukan berarti tidak mampu. Justru di balik ketenangan, sering kali tersembunyi kekuatan yang lebih besar daripada yang tampak di permukaan.